Sunday, April 24, 2011

Sehat Yang Berantai

Selama saya ko-as di departemen gizi klinik RSCM, saya merasa senang sekali karena pada akhirnya saya mendapatkan ilmu yang selama ini saya tunggu-tunggu. Sebenarnya fokus utama pada modul ini adalah obesitas, tapi kami juga mempelajari banyak hal lain juga. Pada modul ini saya lebih menyadari lagi pentingnya hidup sehat dan seimbang. Semakin jelas lagi bagaimana rantai kehidupan adalah benar-benar sebuah rantai yang dimana satu hal selalu mempengaruhi hal lainnya. Saya telah melewati banyak departemen, mendapatkan banyak ilmu, mengalami banyak interaksi dengan mereka yang memberikan saya banyak ilmu--tidak bisa untuk saya tidak berpikiran bahwa memulai dan menjaga kesehatan adalah hal yang teramat sangat penting dibanding mengobati. Dari hal yang tersering kita lakukan seperti makan saja ternyata banyak sekali maknanya.

Pada modul ini, saya memahami bahwa hidup yang sehat dapat diawali atau dijaga dengan asupan makan yang baik dan sehat dan tidak lupa pola hidup yang aktif. Amat tidak sulit untuk ditulis dan diucapkan pastinya, tapi membutuhkan usaha dan motivasi tingkat tinggi untuk melakukannya. Jangankan makan yang sehat, menjadi orang yang aktif saja kita malas. Jaman sekarang semua orang merasa sudah sangat disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing. Selalu ada alasan untuk bermalas-malasan. "Kan udah kerja seharian. Capek." Sebenarnya, yang dimaksud dengan hidup yang aktif bukanlah aktif yang dalam artian ngos-ngosan, keringetan, lengket, capek. Tapi contoh mudahnya adalah membiasakan kebiasaan baru seperti naik/turun tangga ketimbang pakai escalator/elevator; atau jalan ke tempat yang sebenarnya dekat dari tempat kita berada ketimbang naik ojek atau motor--ya, aktifitas yang menggerakan dan melatih badan kita. Kalau kita ingin lebih sehat lagi, mulailah berolahraga. Sekali lagi, pasti yang ada dipikiran adalah malas, capek, gak kuat, keringetan, ngantuk, dll. Tapi, ternyata rekomendasi olahraga per minggu tidak seseram yang kita bayangkan kok: minimum 250 menit. Ingat, itu 250 menit/minggu. Cuma total 4 jam kok kalau mau dijam-jamin. Dan kalau kita mau turunin berat badan, jangan putus asa... cukup dengan jalan cepat selama minimum 30 menit (kalau bisa sih lebih, karena setelah 30 menit badan kita baru membakar lemak) dan jangan sampai ngos-ngosan yang bikin kita ga kuat bicara (karena itu tandanya asam laktat yang terbentuk didalam tubuh, sedangkan untuk membakar lemak kita perlu oksigen). Kalau kita mau naikin berat badan, jalan-jalannya diusahakan kurang dari 30 menit sebelum pembakaran lemak itu terjadi, tapi dibantu dengan angkat beban. Gak harus ke gym kok. Di rumah pasti ada aja barang-barang kecil yang bisa diangkat-angkat. Untuk yang mau menjaga berat badan, olahraganya tetap aerobic seperti yang diatas (misalnya: kalau pilih jalan, jangan sampe ngos-ngosan; kalau renang pelan-pelan; senam aerobic, dll). Dan olahraga ini dilakukan 3-4x/minggu. "Haaaa? Gilllaaa loooo.. Lo kira gue ga punya kesibukannnn?!" Hehe, pasti punya laahhh. Saya juga punya, tapi saya bisa dan terus berusaha melawan kemalesan yang masih menghantui. Saya bisa karena, kalau untuk Cinta Laura "education is number one", untuk saya kesehatan adalah nomor satu. Untuk menyiasatinya adalah dengan mengkombinasikan dengan merubah pola hidup untuk menjadi lebih aktif seperti yang saya contohkan di awal paragraf ini. Begitu.. Jadi, pandai-pandailah mengatur waktu atau "menyiasati" olahraga. Lebih pilih mana: kena sakit gula (diabetes mellitus) diumur segini atau mulai beranjak ke hidup sehat?

Kenapa sih saya kasih pertanyaannya seperti itu? Jahat amat.. Karena hidup ini memiliki rantai. Kalau saja salah satu anggota keluarga kita sakit, dinamika keluarga itu pasti akan berantakan/berubah--terlebih jika harus dirawat di rumah sakit. Kalau itu anak, salah satu orang tua harus menjaga. Bagaimana dengan anaknya yang lain, suami, istri? Bagaimana kalau orang tua harus tetap kerja karena membutuhkan pemasukan dana juga? Biaya pengobatan pun tidak murah. Kita banyak complain bagaimana dokter-dokter banyak meresepkan obat-obatan yang mahal, tapi salah kita sendiri (juga) kenapa kita tidak mau menjaga kesehatan. Saya tidak membicarakan penyakit bawaan ya. Disini saya membicarakan penyakit yang dapat dicegah. Jangan takut dan jangan malas memulai sesuatu yang baik. Kalau kata Bimbo, "Berbuat baik janganlah ditunda-tunda."

Untuk makanannya sendiri, mulai perhatikan apa yang kita makan. Pastikan disetiap makanan kita mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat dan mikronutrien seperti vitamin dan mineral. Minimum karbohidrat per hari adalah 120 gram. Di bawah itu, berhati-hatilah. Mungkin badan kita akan mulai kesulitan berfungsi dengan baik dan benar. Jadi, untuk yang ingin menurunkan berat badan, jangan ga makan karbohidratnya ya! Cukup ditakar saja, bukan dihilangkan. Di bawah ini adalah piramida makanan yang baru:
(http://idahoptv.org/dialogue4kids/season11/nutrition/facts.cfm)

Mari kita hitung lingkar pinggang kita. Cara hitungnya sangat simpel. Cukup menggunakan meteran kain (yang lemas itu) lalu raba tulang iga terbawah (tarik garis ke bawah dari ketiak) dan tulang panggul. Ambil titik tengahnya lalu baru puterin meterannya melingkari perut. Ambil diameter terbesar yaa. Untuk laki-laki, baiknya adalah di bawah 90 cm. Untuk perempuan, baiknya di bawah 80 cm. Hati-hati kalau ternyata lingkar pinggang kita lebih dari normal, karena lemak-lemak dari daerah perut lebih mudah untuk terdistribusi ke pembuluh darah dibanding lemak dari daerah lain. Lemak-lemak yang berkeliaran di pembuluh darah inilah yang bisa menyebabkan penyempitan (contohnya jadi sakit jantung koroner/coronary artery disease) dan kalau mengeras lalu terlepas dari dinding pembuluh darah bisa terjadi penyumbatan. Kalau yang tersumbat adalah pembuluh darah di otak, jadilah stroke. Tidak gemuk tidak selalu berarti sehat tanpa penyakit.

Tuhan sudah menciptakan kita sesempurna mungkin. Tugas kita adalah cukup dengan menjaganya saja. Kita sering bilang kalau anak adalah titipan dari Tuhan. Kita semua pernah menjadi anak-anak dan kita pun statusnya selalu anaknya dari orang tua kita. Berarti kita juga adalah titipan. Kalau kita menitipkan barang di tempat penitipan, pasti kita juga ingin barang yang kita titipkan balik dalam keadaann baik. Maka dari itu, pelihara dan syukurilah kesehatan yang kita miliki. Kalau saat ini kita belum menyukuri, mulailah bersyukur dengan memperbaiki lalu menjaganya. Kita pasti bisa! Semangat!! =)

b4h@5a Ind0n35!4 QuU

"Dari berapa hari yang lalu pengen belajar untuk ujian komprehensif belum juga kesampean. Baca sedikit, ngantuk. Pas besoknya, semangat tinggi: harus belajar! Semua peralatan pendukung juga udah lengkap, tapi ngantuk lagi pas ketemu file2 pdf nya untuk dibaca. Huekkk.. Bisa-bisa belajar last minute lagi nehhh."

Lihat bagaimana saya menulis diatas itu? Itulah hanya salah satu contoh penggunaan bahasa Indonesia yang tidak formal. Saya lahir dan tinggal di Indonesia sampai usia 11 tahun. Lalu pindah ke Arab Saudi dan tinggal di kota Jeddah sampai usia 18 tahun. Selama saya di Indonesia, yang saya gunakan adalah bahasa Indonesia sehari-hari. Ketika saya pindah, saya tidak pandai berbahasa arab ataupun bahasa Inggris, tapi saya tetap di sekolahkan di sekolah internasional yang dimana mayoritas adalah orang-orang amerika, kanada, dan inggris (lambat laun bule-bule ini pulang kampung dan sekarang mayoritas dihuni oleh orang-orang dari berbagai negara Arab). Saya yang tadinya tidak bisa berbahasa inggris seeeeedikit punnnn, akhirnya bisa dengan lancar menulis, berbicara, bahkan berpikir secara otomatis dengan bahasa Inggris. Setiap kali saya pulang ke Indonesia untuk liburan, saya akan sedikit kesulitan untuk berbicara bahasa Indonesia karena otak saya bekerja dengan bahasa Inggris. Bisa dibilang, saya sudah nyaman dengan bahasa Inggris.

Sampai akhirnya saya bersekolah kembali di Jakarta setelah lulus SMA; bahasa Inggris saya perlahan-lahan mulai berkurang walaupun tempat saya kuliah bahasa pengantarnya adalah 'bahasa inggris'. Otak saya mulai beralih untuk memproses hampir semua hal dalam bahasa Indonesia. Jadi semakin hancurlah bahasa Inggris saya. Terlebih selama menjadi koas (ko-asisten dokter), dimana saya harus pandai berkomunikasi dengan efektif dengan pasien menggunakan bahasa Indonesia, lebih jarang lagi saya menggunakan bahasa Inggris.

Sempat saya berpikir, "Kasian juga ya gue.. Bahasa Indonesia yang baik dan benar ga bisa, Bahasa Inggris yang sempurna juga ga bisa. Jadi setengah-setengah gini."  Dan memang saya akui, itu menyedihkan. Akhirnya saya memilih untuk belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan cara mendengarkan teman-teman saya dari FK sebelah yang menurut saya tata bahasanya bagus.

Perlu disadari bagaimana jaman sekarang tata bahasa kita sudah semakin hancur. Seberapa banyak anak-anak Indonesia yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik? Tentu tidak harus dilakukan pada percakapan setiap hari, tapi saya khawatir dengan bergabungnya gengsi, prestis (prestige), dan pembodohan (secara langsung ataupun tidak), anak-anak negeri ini akan semakin terpuruk kemampuannya berbahasa Indonesia.

Lihat saja bagaimana iklan-iklan di media massa sudah sangat jarang menggunakan bahasa Indonesia. Acara TV pun seperti itu, kecuali saluran berita dan beberapa acara anak-anak. Sisanya... Kalau bisa menciptakan bahasa baru yang super gawwwuulll, sukur alhamdulillah. Apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh bangsa ini? Banyak dari kami, generasi muda, yang sudah tidak bisa berbahasa daerah tempat orang tua kami berasal. Ditambah lagi dengan kacaunya penggunaan 'Bahasa Indonesia' saat ini, jadi semakin melencenglah Sumpah Pemuda, yang menurut anak jaman sekarang: berbahasa satu, b4h@5a Ind0n35!4. Uhuyyy! Kurang gaul apalagi tuh si pemuda yang bikin sumpah. Hehe.. Di koran-koran murah meriah pun bahasa yang digunakan sangat aneh, menurut saya. Contohnya saja ada headline yang berbunyi, "Cowok nyolong HP, ketangkep digebukin ampe bibirnya jontor. Pas ditanya kenapa nyolong: au uat eayain aun auu (mau buat ngerayain tahun baru)". Iya, itu digunakan untuk menarik perhatian. Tapi bukankah semua yang ada disekitar kita ini adalah sebuah pelajaran pada waktu yang bersamaan? Untuk yang lingkungannya bisa mengajarkan kalau itu bukan penggunaan bahasa yang benar, beruntunglah.

Tidak kalah kasihan adalah anak-anak yang orang tuanya asli Indonesia, sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, tinggal di Indonesia, tapi disekolahkan sejak dini di sekolah berbahasa Inggris dengan harapan anaknya pintar berbahasa Inggris ketika besar nanti. Tentu tidak ada salahnya menggantungkan harapan mulia seperti itu terhadap anak, tapi siapa sebenarnya yang ingin 'diuntungkan' disini? Orang tua yang ingin dilihat 'wah, anaknya pinter ya kecil-kecil sudah bisa bahasa Inggris'? Atau memang untuk si anak? Apakah itu juga mengartikan kalau orang tuanya meng-under estimate buah hatinya kalau sudah besar nanti akan lebih sulit atau tidak akan bisa belajar bahasa asing? Bahasa ibu sendiri tidak bisa padahal. Dan bagaimana anak itu akan berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya yang hanya bisa berbahasa Indonesia?

Kita sudah terbawa jauh dalam angan-angan siapa, saya juga tidak tahu, dalam misi menjauhkan kita dari kultur kita, orang Indonesia. Budaya kita mulai beralih. Itu dia: mulai. Berarti kita berada dalam masa transisi, atau daerah abu-abu. Ini tidak, itu tidak. Indonesia tidak, budaya baru pun tidak. Kita di antaranya. Akhirnya, komunikasi menjadi kurang efektif. Contohnya, banyak saya lihat poster-poster kesehatan menggunakan bahasa Inggris, padahal orang-orang menengah ke bawah adalah sasaran utamanya karena mereka lebih sedikit terekspos dengan ilmu kesehatan dan penyakit lebih banyak beredar di kalangan ini. Tapi bagaimana orang-orang ini akan mengerti? Bagaimana pesan akan tersampaikan jika bahasanya saja tidak dimengerti? Gambar tidak selalu cukup dan interpretasi orang tergadap gambar banyak yang berbeda-beda. Ditambah, kadang pengejaan dan tenses-nya saja salah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menggunakan bahasa Inggris. Tapi saya rasa yang ingin dicapai disini (i.e. penyampaian pesan, edukasi) tidak tercapai. Dan kalaupun tetap ingin menggunakan bahasa Inggris, gunakanlah dengan baik dan benar karena orang-orang yang belum mahir bahasanya pun jadi mendapatkan pelajaran yang benar. Saya bukan seorang perfeksionis, tapi selama saya kuliah kedokteran di Jakarta saya juga mengalami kesulitan dalam penulisan dan pengucapan banyak kata-kata kedokteran karena tercampurnya penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang setengah-setengah. Malu kalau ketika jadi dokter nanti yang punya ilmu malah tidak tau yang benar seperti apa.

Lalu, mengapa sekarang kita jadi jarang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan kedua yang menghubungkan kita? Mengapa kita membantu membunuh sendiri budaya yang sudah kita tanamkan berpuluh-puluh tahun? Bagaimana kita bisa membangun negara kalau rasa bangga dan memiliki tidak diciptakan? Carilah ilmu sampai ke negeri Cina kan bukan berarti jadilah orang Cina?

Mengapresiasi Sebuah Pekerjaan

Beberapa hari belakangan ini saya memperhatikan beberapa pekerjaan orang-orang disekitar saya, termasuk teman-teman saya di dunia maya bin facebook ini. Dari yang saya perhatikan, saya menyadari bahwa di Indonesia masih belum banyak orang yang berani melakukan pekerjaan yang sesuai dengan passionnya. Agak-agak sotoy sih itu karena saya juga tidak punya data untuk mem-back-up itu, tapi sebagian besar teman-teman atau "teman-teman" saya (pakai " " karena termasuk di dalamnya adalah teman-teman orangtua saya, saudara saya, atau intinya orang-orang yang lebih tua dari saya) adalah pekerja di suatu perusahaan dalam bemacam-macam bentuk. Atau bahasa lebih mudahnya adalah karyawan swasta/orang kantoran. Saya rasa tidak ada yang salah dengan karyawan swasta, in fact ayah saya sendiri adalah karyawan swasta dan beliau cukup berhasil dalam karirnya.

Hal ini saya bandingkan dengan teman-teman masa sekolah dulu. Sedikit yang bekerja sebagai karyawan swasta kantoran layaknya kebanyakan dari lingkungan saya disini. Lebih banyak menjadi entrepeneur, reporter/journalist, penulis, artist (mencakup pelukis, penari, fashion designer, dkk), scientist, dan lain sebagainya. Bisa jadi karena mereka datang dari keluarga yang untuk ukuran orang Indonesia jauh diatas mampu. Tapi kenapa orang tua mereka berani merestui anak-anak ini untuk melakukan apa yang menjadi passionnya? Padahal mereka sendiri tau suatu hari nanti anak-anak mereka akan menjadi orang-orang yang independen dan tidak lagi mendapat suntikan dana dari orangtua. Saya kagum dengan teman saya yang menjadi seorang jurnalis dan pergi ke Mesir ketika terjadi kericuhan untuk menuliskan laporan untuk sebuah majalah; atau ketika ia ke Lebanon untuk mengamati hak kerja orang Palestina di Lebanon, dan banyak lainnya. Dia mencari pengalaman, mencari network, mengembangkan kemampuannya, melakukan yang disukainya, dan mencari uang. Saya kenal dengan orang tuanya, saya yakin mereka pasti men-support dan bangga akan perkembangan karir anaknya. Dan teman saya ini pasti memiliki banyak sekali cerita dan ilmu untuk dibagi karena dia melakukannya dengan hati (with a passion).

"Without work, all life goes rotten. But when work is soulless, life stifles and dies."
Albert Camus


Dengan berkembangnya dan majunya waktu, saya merasa di Indonesia masih juga belum banyak orang yang berani atau mungkin yang benar-benar "direstui" oleh orang tuanya untuk mengambil langkah ke arah yang dimana mereka bisa mengembangkan potensinya. Ya, mungkin karena di Indonesia masih banyak orang-orang yang merasa financially insecure dan pekerjaan-pekerjaan seperti yang teman-teman sekolah saya kerjakan masih belum cukup dipandang di komunitas kita yang akhirnya mendapat cibiran karena katanya "ga ada duitnya". Orang tua mana yang mau anaknya jadi pelukis?? atau menjalankan bisnis?? atau menjadi penulis saja?? Mungkin ketika anak itu bilang pekerjaannya adalah penari, yang mendengar akan bilang, "Oh..". Tapi kalau bilang, "Saya kerja di Bank XYZ di Sudirman," dan semua orang pun akan terpesona. Kerja keras? Iya, padahal keduanya membutuhkan kerja keras. Kenapa yang satu tidak terlalu dipandang? Pola pikir yang salah, mungkin.

Akhirnya orang-orang lebih bisa mengapresiasi mereka yang keluar masuk bangunan tinggi menggunakan kemeja, dasi, celana bahan, sepatu pantovel kulit, kalo perlu jas (ya kalau perempuan pake rok juga bisa) dibanding mereka yang bukan "orang kantoran". Kenapa? Saya juga kurang tau, mungkin karena orang kantoran terlihat lebih ganteng dan cantik dan pendapatan mereka terkesant lebih pasti, sekecil apapun itu. Bisa berkembang atau tidak itu urusan nanti atau mungkin juga "yaa.. derita lo" kalau tidak bisa.

"We work to become, not to acquire."
Elbert Hubbard


Seperti yang saya ceritakan tentang teman saya yang jurnalis itu, mungkin jika kita dapat melakukan pekerjaan yang sesuai dengan yang kita inginkan (dan bukan hanya berorientasi uang pastinya, walaupun uang itu saya tau penting) urusan dan masalah-masalah di luar sana, di komunitas kita, bisa sedikit diatasi. Kita bisa memiliki lebih banyak ilmu lagi dari sekarang karena akan lebih banyak cerita-cerita yang menarik dari banyak bidang di luar sana. Tidak kalah pentingnya, kita akan mulai meng-apresiasi mereka yang bekerja di bidang yang belum lazim di komunitas kita dan men-support mereka yang mau mengembangkan passion/talent-nya.

"Work is love made visible. And if you cannot work with love but only with distaste, it is better that you should leave your work and sit at the gate of the temple and take alms of those who work with joy."
Khalil Gibran


-Nurul

You Start Dying Slowly...

You start dying slowly
If you do not travel,
If you do not listen to the sound of life,
If you do not appreciate yourself.

You start dying slowly
When you kill your self-esteem,
When you do not let others help you.

You start dying slowly
If you become a slave of your habits,
Walking everyday on the same paths,
If you do not change your routine,
If you do not wear different colors,
Or you do not speak to those you don't know.

You start dying slowly
If you avoid to feel passion
And their turbulent emotions;
Those which make your eyes glisten
And your heart beat fast.

You start dying slowly
If you do not change your life when you are not satisfied with your job, or with your love,
If you do not risk what is safe for the uncertain,
If you do not go after a dream,
If you do not allow yourself,
At least once in your lifetime
To run away from sensible advice.

Start living today!

Run risks today!

Do something today!

Do not allow yourself to start dying slowly...

Do not forget to be happy!


*I got this from my father once upon a time. I love the messages, so I kept it in my mobile phone so I could re-read it again and remind myself. I thought it'd be nice to share it with everyone too. =)

Saya Kehilangan Anak

Beberapa hari yang lalu kami mendiskusikan tentang perencanaan KB (keluarga berencana) dengan Prof. Biran Affandi, Sp.OG(K). Salah satu point yang disebutkan adalah bahwa seorang perempuan sudah bisa (belum tentu siap) hamil sejak menstruasi pertamanya (menarche). Sekitar 1000 tahun yang lalu, usia rata2 perempuan mendapat menstruasi pertamanya adalah 16-17 tahun. Mereka memiliki anak setelahnya dengan rata2 10 anak per perempuan, dan mengalami menopause (tidak menstruasi lagi) di usia 40 tahun. Dengan majunya waktu, maju pula usia menarche anak perempuan. Jaman sekarang, rata2 usia 12 tahun sudah mens, namun tidak sedikit pula yang usia 8-9 tahun sudah mens! Itu masih kelas 2 atau 3 SD loh. Lalu salah satu teman bertanya, “Kenapa sih, Prof., semakin ke sini semakin muda umur menarche-nya? Gara2 kebanyakan makan ayam dari K*C ya, Prof.?” sambil bercanda.

Kenapa sih yang pertama kali dipikirkan adalah makanan2 ‘junk food’ seperti K*C? Karena konon K*C itu nyuntikin hormone ke ayam2nya biar bisa tumbuh besar, ga kaya ayam2 kampung yang kurus2. Sedangkan, hormon2 ini juga digunakan dalam tubuh manusia untuk pertumbuhan dan perkembangan tanda2 seksual sekunder, seperti tumbuhnya payudara, rambut2 baru di ketiak, pubis, dada & kumis (untuk laki2), menstruasi, dll. Tapi ternyata bukan itu jawaban pertama dari si prof.

“Karena jaman sekarang stimulasi secara audio-visual jauh lebih banyak dibanding dulu,” kata Prof. Biran (kurang lebih gitu sih). Maksudnya apaan nih stimulasi audio-visual? Yang dimaksud bukan hanya video2 porno yang sudah amat sangat mudah didapat secara gratisan atau beli, tapi juga dari hal2 simple seperti billboard iklan yang menampilkan perempuan2 cantik yang menunjukkan ke-sensual-an lewat bahasa tubuhnya ataupun secara terang2an. Atau dari lagu2 romantis/cinta, cerita2 romantis (buku ataupun sinetron/acara tv), pembicaraan2 dewasa di kanan kiri…. You name it lah. Untuk kita yang udah dewasa hal seperti itu terasa biasa2 saja; tapi untuk anak2 kecil yang baru liat yang sperti itu…. Wuih, bisa deg-deg-ser yang di dalem celana tujuh hari tujuh malem! Terus kenapa hal seperti ini bisa bikin mens lebih cepet??? Bingung ga seh loooooo…. Ya, karena dengan terstimulasi dia akan mulai menstimulasi pula tubuhnya untuk mulai mengeluarkan hormon2 yang diperlukan untuk pertumbuhan seks sekunder. Jadi, dengan stimulasi yang bertubi2, lebih cepat lah semuanya terjadi.

Memang, semua pasti ada relasinya juga ke genetic keluarga (keturunan) dan lain sebagainya. Namun hal ini mempercepat proses itu terjadi. Kita lihat saja, seberapa banyak anak2 perempuan jaman sekarang yang bener2 berlaku seperti anak-anak? Mereka sudah banyak yang ingin terlihat dewasa. Yang umur 8 taun pengen terlihat seperti kakak2nya dikelas 6 SD. Yang 6 SD pengen terlihat seperti anak SMP. Yang SMP pengen terlihat seperti anak2 SMA. Yang SMA pengen terlihat kaya anak kuliahan. Every girl acts like an adult. Se-desperate itu kah mereka? I think so. Karena sudah tidak ada lagi yang mengingatkan mereka untuk menjadi anak kecil, act seperti anak kecil, berpakaian seperti anak kecil, menonton tontonan anak kecil, berfoto a la anak kecil, bernyanyi lagu2 anak kecil. Cengengnya doang yang masih kaya anak kecil. Lihat saja lomba2 nyanyi di TV. Lagu apa yang mereka nyanyikan? Kerispatih, Sheila on 7, D’massiv, ST12, Keong Racun yang baru kenal eh udah ngajak tidur, dll. Sayangnya orangtua2 jaman sekarang pun mendukung semua itu. Saya yang pernah menjadi anak kecil dan masih suka ada jiwa anak kecilnya sedih sekali melihatnya. Sampai2 saya sendiri geregetan pengen bilang ke mereka PLEASE… BE A KID WHILE YOU HAVE THE CHANCE! Betapa menyenangkannya menjadi anak kecil sebenarnya. Dengerin deh cerita2 orang tua kita jaman mereka kecil… full of adventure, full of silly things… atau cerita2 jaman saya kecil. Dengerin lagunya mah masih si Melissa semut2 kecil, Eno Lerian banyak nyamuk di rumahku, Trio Kwek2 ku takut mamahku marah, Chikita Meidy. Yahhh, ada juga lah lagu2 dewasanya but only ONCE IN A WHILE. Tontonan kami pun juga masih beragam. Masih ada unyil yang dipalakin terus sama pak ogah, ada si Komo, Sesame Street, tralala-trilili, klab-klib (buset, masih inget aja gue yak), Lenong Bocah.

Prof. Biran pernah didatangi oleh seorang anak perempuan usia 9 tahun bersama kedua orangtuanya. Anak itu dihamili oleh teman laki2nya (juga berusia 9 tahun) usai mereka menonton video porno. (Pas banget ya timing ovulasinya (masa subur) tu anak? Hehehehe..) Lalu gimana terusannya? Aborsi kah? Atau lanjutkan kehamilannya dengan panggul anak yang sempit seperti itu, dan tanggung jawab layaknya seorang dewasa yang belum ada? Hal2 sperti ini lah yang sbenernya harus dicegah. Ini dimulai dari stimulasi visual (yang kebetulan ada audionya juga). Semakin mereka terstimulasi, semakin mereka bertanya2, semakin mereka penasaran, semakin mereka mencari tau, semakin deg-deg ser, semakin asik jadinya. Ihiyyy.. semakin bingung orang tuanya kalo udah beneran kejadian.

Sekilas memang terlihat sangat simple dan tidak berpengaruh… Iklan2 di tv, di majalah, di jalan2 besar, cerita2 di tv, dll… tapi ternyata itu sudah cukup untuk bikin anak2 jadi kehilangan ke-anak2-annya. Sadarilah, anak-anak belum diberikan kapasitas untuk mempunyai tanggung jawab seperti orang dewasa. Karena ada waktunya nanti ketika mereka beranjak dewasa. Maka dari itu, jangan bantu sodori mereka hal2 yang mereka juga belum bisa bertanggung jawab secara raga maupun psikis.

Jadilah anak kecil yang sejati. =D

With lots of love,
Nunun